OPINI – Peristiwa sejarah kelam yang terjadi di masa lalu Indonesia yang selama ratusan tahun pernah mengalami hidup di dalam belenggu penjajahan Belanda, memiliki sebuah cerita perih yang akan terus dikenang hingga akhir zaman.
Ya, kisah pengkhianatan anak bangsa yang rela menggadaikan kemerdekaan dan kehormatannya, demi menikmati hidup makmur ala kolonial di bumi Nusantara.
Meski begitu, namun sepertinya tidak tersimpan dendam kesumat orang Indonesia kepada Belanda. Tidak menolak orang Belanda yang datang ke Indonesia dan bahkan ketidakikutsertaan Belanda di Piala Dunia 2018 disesalkan oleh para fans Timnas Belanda di Indonesia. Begitulah kita, perlu juga disadari bahwa kita bukanlah bangsa pendendam.
Namun untuk sekadar mengulas dan mengenang sejarah perjuangan nenek moyang kita yang perlu juga diketahui, bahwa musuh kita bukan saja datang dari luar tapi musuh dari dalam juga perlu kita waspadai.
Seperti halnya dulu, tidak sedikit diantara kita yang anti terhadap semangat perjuangan tentara kemerdekaan, karena mereka memilih tergabung dalam beberapa organisasi bentukan Belanda. Salah satunya adalah Nederlands Indie Civil Administration
(NICA).
Di kalangan tradisional, khususnya di Pulau Jawa, para pengkhianat bangsa ini umumnya lebih sering disebut dengan istilah “Londo Ireng”. Julukan kepada bumiputera (berkulit hitam) yang membela Belanda.
Selain menginginkan kehidupan mapan secara mudah, serangkaian alasan politis juga menjadi penyebab mata hati mereka terhadap saudara sebangsa dan tanah air tertutup rapat. Alih-alih membantu di medan juang menjaga kedaulatan, mereka bahkan rela menjadi pengkhianat bagi saudara sebangsa, sehingga menorehkan kisah buram di tanah air.
Mungkin bagi mereka, harta dan kenyamanan hidup lebih berharga daripada kemerdekaan dan bisa hidup berdaulat di atas tanah di mana Tuhan menakdirkannya hidup untuk merawatnya sebagai ‘Khalifah fil Ardl’.
Belanda yang telah menanamkan pengaruh kolonialnya di tanah air kita tercinta, membuat sebagian rakyat takluk yang kemudian menjadi tunduk dan patuh. Bagi mereka, nasionalisme dan angin kemerdekaan, hanyalah buaian mimpi belaka yang mustahil terjadi. Alhasil, banyak kalangan terpelajar Indonesia, lebih memilih menjadi pegawai kolonial Belanda. Kemapanan, finansial dan jaminan hidup, lebih mudah dibanding bersimbah darah di medan pertempuran dengan ancaman kematian.
Bisa jadi, itulah alasan mereka membela Belanda demi jabatan dan hidup mapan.
Tak hanya di kalangan terpelajar, para aristokrat dan bangsawan (raja-raja), juga ikut termakan rayuan duniawi yang ditawarkan para penjajah. Pada zaman itu, bukanlah hal aneh jika para raja, bangsawan maupun pejabatnya dekat dengan pemerintahan kolonial. Motivasi mereka pun beragam. Ada yang dekat karena ingin diangkat menjadi raja atau pemangku wilayah karesidenan, menjadi pegawai sipilnya saja. Dan bagi rakyat biasa, ia rela menjadi centeng hingga mata-mata Belanda karena tergiur oleh upah.
Bahkan ketika Indonesia telah merdeka sekalipun, para penjilat ini tetap menyatakan kesetiannya pada Belanda dan bergabung beesama NICA. Dimana tugas dan peran NICA ini ingin mengembalikan pemerintahan kolonial di Indonesia.
Peranan NICA sangatlah vital bagi kelangsungan eksistensi penjajah kolonial. Tugas utamanya adalah mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum sesuai dengan undang-undang ala kolonial Hindia Belanda. Organisasi yang dibentuk pada 1944 di Australia ini, menjadi penghubung Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di pengasingan dengan Komando Tertinggi Sekutu di Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA/South West Pacific Area).
Bisa dibilang, organisasi ini merupakan lembaga yang menampung wilayah Hindia Belanda setelah berhasil direbut oleh Sekutu dari tangan Jepang. Dalam strateginya NICA sempat berganti-ganti nama karena ditentang pemerintah Indonesia saat itu, demi tegaknya kolonialisme di Indonesia.
Anggota NICA bersama Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) dipersenjatai untuk memerangi Indonesia. Penduduk bumiputera menjadi musuh karena memerangi saudara sendiri.
Setelah Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya, ada saja teknik dan siasat Belanda agar masih memiliki kesempatan berkuasa kembali. Dengan membonceng Inggris, mereka pun kembali mempersenjatai para anggota NICA dan KNIL di Indonesia. Alhasil, pertempuran besar seperti peristiwa Surabaya, Palagan Ambarawa dan Medan Area, kembali terjadi di tanah air. Mirisnya, banyak dari anggota NICA adalah orang-orang pribumi yang sampai hati membunuh saudararnya sendiri. Tentara lokal inilah yang tergabung dalam kompi V Andjing NICA yang terkenal sadis dan haus darah.
Meski telah berlalu, kisah pengkhianat NICA yang ikut andil dalam serangkaian peristiwa berdarah di Indonesia tentu sangat disayangkan. Negeri yang harusnya ditata kembali setelah mencapai kemerdekaannya, harus kembali banjir darah untuk kedua kalinya. Oleh sebab itu, suatu negara tidak akan jatuh dan rusuh kecuali ada pengkhianat di dalamnya.
Dengan demikian, walaupun peristiwa pengkhianatan itu terjadi pada peristiwa penjajahan yang silam yang terjadi secara terang-terangan. Namun yang mungkin perlu kita ketahui dan waspadai bersama adalah bahwa penjajahan itu bisa saja tetap berlangsung tetapi melalui cara-cara yang lebih halus dan sembunyi-sembunyi.
Bisa jadi penjajahan itu memang masih dan atau tengah berlangsung melalui infiltrasi perubahan ketatanegaraan, Undang-undang, Perda dan lain-lain untuk memudahkan dikeruk nya kekayaan alam Indonesia.
Siapa tahu juga penjajahan halus itu melalui pembodohan pemilu atau rekayasa kepemimpinan nasional, penjajahan melalui upaya pelemahan dan embargo pertahanan negara?
Atau mungkin juga penjajahan melalui adu domba, yang masuk langsung ke dalam keluarga. Semisal adu domba antara orang Islam dan Kristen, dan ketika usaha ini gagal, maka yang diadu domba adalah di antara sesama umat Islam melalui isu anti-syiah dan yang sejenis. Mungkin, loh ya?! Meski kita tidak berharap demikian, namun benar tidaknya segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Lalu, kemanakah para bumiputra pengkhianat bangsa jebolan NICA dan KNIL atau Londo Ireng itu kini? Secara ukuran usia normal mungkin sudah mati dan tinggal menyisakan kisah memalukan dan keturunan.
Kemudian pertanyaannya, apakah jiwa Londo Ireng itu masih terbawa oleh faktor genetika kepada keturunannya kini. Atau jika benar penjajahan secara halus itu tengah berlangsung saat ini, (masih) adakah peranan Londo Ireng?
Dikutip dari berbagai sumber
Oleh: Ilung Sang Revolusioner
Komentar